PUISI KECIL UNTUK AYAH (dibuat dari kisah nyata)
“Aku merindukanmu ayah!!!” suaraku menyeruak keras mengalahkan suara
ombak dipantai itu. Sedihku tak dapat kubendung,pikiranku menerawang
jauh kearah laut dihadapanku,dibentangan pasir ini aku duduk seorang
diri,menatap indahnya awan disore itu,matahari perlahan-lahan menarik
sinar gagahnya dari tempatku,memberikan kesempatan pada sang bulan untuk
menerangi bumi. Walaupun hari sudah hampir malam,tapi aku tak bergeming
sedikit pun dari tempat itu. Aku adalah seorang anak manusia yang telah
berhasil menjadi seorang guru sastra disebuah universitas,sebuah
profesi yang aku cita-citakan dari aku kecil dulu. Memori otakku kembali
memutar ingatanku sewaktu kecil. Waktu itu aku sedang duduk dipangkuan
ayahku,menikmati pemandangan matahari terbenam. Indah sekali,serat-serat
awan yang kemerah-merahan diatas kepalaku membentuk pola-pola yang
mengagumkan. Masa kecilku,diumurku yang baru memasuki empat tahun.
Bersama seorang ayah yang memberikan pelukan hangatnya untukku.
“Ayah,liat yah,awannya mirip gajah ya?”ucapku menunjuk salah satu awan.
‘Iya,lucu ya .. mirip Gladis”
“Ih ayah… yah,Gladis pengen deh bisa tidur diawan,pasti seru yah”
“Kamu bisa kok,asalkan kamu punya tekad yang kuat”
“Iya yah,oh iya yah tadi disekolah ibu guru tanya,kalo udah besar nanti Gladis mau jadi apa? Gladis nggak tau yah”
“Loh kok nggak tau? Emangnya Gladis gak punya cita-cita?”
“Nggak tau yah,tapi Gladis suka kalo liat orang baca puisi,kayak mbak
Tiwi yang sering juara puisi yah,terus mbak Tiwi kan suka bikin cerita
buat anak-anak juga yah,Gladis pengennya jadi kayak mbak Tiwi”
“Wah bagus dong Gladis,kamu belajar dong sama mbak Tiwi”
“Iya yah Gladis mau belajar sama mbak Tiwi,terus kalo jadi kayak mbak Tiwi itu namanya apa yah?”
“Mbak Tiwi itu bisa dibilang sastrawan,karena puisi,cerpen,dan karya-karya mbak Tiwi itu sudah mendapat penghargaan”
“Cerpen? Cerpen itu apa yah?”
“Cerpen itu artinya cerita pendek,ayah juga senang kalo Gladis jadi sastrawan”
“Gladis pasti jadi sastrawan yah,Gladis janji”
“Bagus,ayah bangga punya anak seperti kamu”
Pelukan hangatnya menyelimuti soreku hari itu. Matahari dengan
perlahan bersembunyi dibalik cakrawala,dan akhirnya benar-benar
hilang,pergi menuju belahan bumi yang lain.
Keesokan harinya
seperti biasa,dirumah kecil yang asri,aku bersiap kesekolahku,di TK
Pelangi,sebuah tempat yang biasa aku kunjungi untuk belajar dan bermain
bersama teman-teman dan guruku. Ibuku sibuk menyiapkan sarapan sedangkan
ayahku tengah bersiap pergi ketempat kerjanya.
“Ibuuu …rok Gladis yang warna biru mana bu? Teriakku pagi itu.
“Haduuuh … Gladis nggak boleh teriak-teriak gitu,ini roknya baru siap ibu seterika”
Dengan cepat aku pakai rok yang dipegang ibuku dan segera
menyelesaikan sarapanku. Hari ini aku sangat ingin cepat kesekolah dan
juga cepat pulang,karena mbak Tiwi berjanji setelah pulang sekolah akan
mengajariku membuat puisi.
***
Setelah beberapa bulan,disuatu
malam aku terbangun dari tidurku. Aku mendengar suara ribut dari arah
ruang tamu. Perlahan aku singkirkan selimut yang membalut
tubuhku,kuarahkan langkahku kesumber suara itu. Kulihat ibuku menangis
sambil memegang pipinya yang memerah,dihadapannya ayahku berdiri dengan
wajah menakutkan,ayahku tampak begitu emosi dan ketika menyadari
kehadiranku ekspresinya langsung berubah ramah,aku tak kuasa menahan
tangis melihat kedua orangtuaku bertengkar.
“Gladis kamu ngapain disini?”tanya ayahku memegang kedua bahuku.
“Ayah apain ibu? Kok ibu nangis? Ayah pukulin ibu ya?”
“Nggak sayang,oh iya Gladis mau ketemu nenek nggak? Besok kita ke Surabaya yuk”
“Tapi yah,ayah kenapa mau kerumah nenek? Kan Gladis sebentar lagi mau lomba puisi”
“Mas!!! Jangan seenaknya kamu mau bawa Gladis! Dia anakku bukan anakmu”ujar ibuku kasar.
“Diam kamu! Pergi saja dengan suami barumu itu! Biarkan aku berdua dengan Gladis saja!”
Aku hanya bisa terdiam sementara air mataku terus menetes,lalu aku
dibawa pergi ibuku kekamar,ibuku menyuruh untuk berhenti menangis dan
melanjutkan tidurku,kemudian dengan langkah cepat ia kembali keruang
tamu dan melanjutkan pertengkaran itu.
“Padahal kan besok Gladis mau lomba puisi yang pertama kali,tapi kenapa ayah sama ibu malah berantem” batinku sedih.
Matahari sudah kembali menampakkan wujudnya dipagi itu. Ketika mataku
mulai terbuka aku langsung disambut pemandangan yang asing bagiku,aku
tengah berada didalam pesawat. Aku sempat menangis karena tidak melihat
kehadiran ayahku,tapi setelah dibujuk berkali-kali oleh ibuku akhirnya
aku bisa berhenti menangis,ibuku bilang ayahku sedang ada pekerjaan
ditempat yang jauh,jadi aku dan ibuku pindah kerumah saudaraku di
Semarang. Entah itu benar atau tidak.
Setelah cukup lama tinggal
diSemarang aku melanjutkan sekolahku ketingkat dasar. Aku cukup bahagia
tinggal disini,bersama teman-teman baru dan orang-orang yang
menyayangiku. Walaupun tanpa kehadiran seorang ayah,hingga tiba waktu
pembagian rapot pertamaku,aku meraih juara kedua,sesampainya dirumah aku
menanyakan kabar ayahku pada ibu.
“Ibu … ayah mana? Kok belum pulang kesini sih?Gladis kan pengen liatin rapot Gladis bu …”
“Iya sayang,ayah masih kerja,Gladis sabar ya”
“Ih ibu nih!!! Gladis kangen tau sama ayah,kenapa sih ayah lama banget??!!”bentakku kasar.
Aku yang masih kecil tentu susah untuk bersabar,maka merajuklah aku
saat itu. Aku pergi keluar rumah dengan menggenggam buku bersampul biru
itu dan membawanya kepantai didekat rumahku.
Teriknya matahari
siang itu tak aku perdulikan dan sepinya pantai itu tanpa ada seorang
pun tak membuat aku takut bersendirian ditempat itu. Aku hempaskan tubuh
mungilku diatas pasir,bukit-bukit yang melindungi garis cakrawala
mengingatkan aku pada pemandangan yang aku lihat ketika bersama ayah
dulu. Butiran air perlahan-lahan keluar dari sudut mataku.
“Ayah…ayah dimana? Gladis kangen sama ayah,Gladis udah dapat banyak
piagam lomba puisi yah,itukan yang ayah mau,ayah kapan pulang?liat yah
rapot Gladis nilainya bagus-bagus,ayah dimana yah? Ayaaaahh
..!”panggilku lirih. Tangisanku terus mengalir bersama ombak yang
memecah pinggiran pantai itu. Aku sangat merindukan sosok seorang
ayah,yang dulunya selalu mendukung pilihanku.
Kini aku sudah
beranjak dewasa,diusiaku yang sudah dua puluh tahun,aku sudah mampu
menjadi seorang guru sastra,cerpenis,sekaligus novelis yang cukup
sukses. Dengan usaha kerasku akhirnya apa yang aku cita-citakan bersama
ayahku dulu telah tercapai. Tapi,ayah tak pernah muncul dalam
kehidupanku lagi,entah masih ada atau sudah kembali pada Tuhan pun aku
sama sekali tidak tahu. Kenangan masa kecilku itu belum dapat aku
lupakan. Kini bulan telah menampakkan kehadirannya,aku masih duduk
dipantai ini,setelah mengingat masa laluku dulu. Disampingku sudah ada
sebuah balon dan secarik kertas yang terikat ditali balon itu sebuah
puisi indah untuk ayahku.
SENJA TAK KEMBALI
Rentah merentah cacian senja
Berdiri diawang kelabu
Mencari sesuap penghargaan
Dibutiran pasir
Kepingan cinta
Jatuh dipelupuk mata
Tapi kau telah berlayar
Menghapus cakrawala
Hitam dan nila beradu
Merebut atap pelindung insan
Serat mata tak henti
Menggores harap didepan sana
Bermimpi kau berwujud
Bercita kau kembali
Akal pun tak lagi bergerak…
Perlahan-lahan aku lepaskan balon itu dari genggamanku,terbang
tinggi dan semakin tinggi. “Semoga balon itu dapat mengentarkan rasa
rinduku untuk ayah”batinku. Bulan seakan tersenyum melihat apa yang aku
lakukan,angin malam itu pergi membawa balonku semakin jauh. Aku hanya
bisa berharap dapat mencium pipinya yang terakhir kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar