Jumat, 15 Februari 2013

PUISI KECIL UNTUK AYAH (dibuat dari kisah nyata)


“Aku merindukanmu ayah!!!” suaraku menyeruak keras mengalahkan suara ombak dipantai itu. Sedihku tak dapat kubendung,pikiranku menerawang jauh kearah laut dihadapanku,dibentangan pasir ini aku duduk seorang diri,menatap indahnya awan disore itu,matahari perlahan-lahan menarik sinar gagahnya dari tempatku,memberikan kesempatan pada sang bulan untuk menerangi bumi. Walaupun hari sudah hampir malam,tapi aku tak bergeming sedikit pun dari tempat itu. Aku adalah seorang anak manusia yang telah berhasil menjadi seorang guru sastra disebuah universitas,sebuah profesi yang aku cita-citakan dari aku kecil dulu. Memori otakku kembali memutar ingatanku sewaktu kecil. Waktu itu aku sedang duduk dipangkuan ayahku,menikmati pemandangan matahari terbenam. Indah sekali,serat-serat awan yang kemerah-merahan diatas kepalaku membentuk pola-pola yang mengagumkan. Masa kecilku,diumurku yang baru memasuki empat tahun. Bersama seorang ayah yang memberikan pelukan hangatnya untukku.
“Ayah,liat yah,awannya mirip gajah ya?”ucapku menunjuk salah satu awan.
‘Iya,lucu ya .. mirip Gladis”
“Ih ayah… yah,Gladis pengen deh bisa tidur diawan,pasti seru yah”
“Kamu bisa kok,asalkan kamu punya tekad yang kuat”
“Iya yah,oh iya yah tadi disekolah ibu guru tanya,kalo udah besar nanti Gladis mau jadi apa? Gladis nggak tau yah”
“Loh kok nggak tau? Emangnya Gladis gak punya cita-cita?”
“Nggak tau yah,tapi Gladis suka kalo liat orang baca puisi,kayak mbak Tiwi yang sering juara puisi yah,terus mbak Tiwi kan suka bikin cerita buat anak-anak juga yah,Gladis pengennya jadi kayak mbak Tiwi”
“Wah bagus dong Gladis,kamu belajar dong sama mbak Tiwi”
“Iya yah Gladis mau belajar sama mbak Tiwi,terus kalo jadi kayak mbak Tiwi itu namanya apa yah?”
“Mbak Tiwi itu bisa dibilang sastrawan,karena puisi,cerpen,dan karya-karya mbak Tiwi itu sudah mendapat penghargaan”
“Cerpen? Cerpen itu apa yah?”
“Cerpen itu artinya cerita pendek,ayah juga senang kalo Gladis jadi sastrawan”
“Gladis pasti jadi sastrawan yah,Gladis janji”
“Bagus,ayah bangga punya anak seperti kamu”
Pelukan hangatnya menyelimuti soreku hari itu. Matahari dengan perlahan bersembunyi dibalik cakrawala,dan akhirnya benar-benar hilang,pergi menuju belahan bumi yang lain.
Keesokan harinya seperti biasa,dirumah kecil yang asri,aku bersiap kesekolahku,di TK Pelangi,sebuah tempat yang biasa aku kunjungi untuk belajar dan bermain bersama teman-teman dan guruku. Ibuku sibuk menyiapkan sarapan sedangkan ayahku tengah bersiap pergi ketempat kerjanya.
“Ibuuu …rok Gladis yang warna biru mana bu? Teriakku pagi itu.
“Haduuuh … Gladis nggak boleh teriak-teriak gitu,ini roknya baru siap ibu seterika”
Dengan cepat aku pakai rok yang dipegang ibuku dan segera menyelesaikan sarapanku. Hari ini aku sangat ingin cepat kesekolah dan juga cepat pulang,karena mbak Tiwi berjanji setelah pulang sekolah akan mengajariku membuat puisi.
***
Setelah beberapa bulan,disuatu malam aku terbangun dari tidurku. Aku mendengar suara ribut dari arah ruang tamu. Perlahan aku singkirkan selimut yang membalut tubuhku,kuarahkan langkahku kesumber suara itu. Kulihat ibuku menangis sambil memegang pipinya yang memerah,dihadapannya ayahku berdiri dengan wajah menakutkan,ayahku tampak begitu emosi dan ketika menyadari kehadiranku ekspresinya langsung berubah ramah,aku tak kuasa menahan tangis melihat kedua orangtuaku bertengkar.
“Gladis kamu ngapain disini?”tanya ayahku memegang kedua bahuku.
“Ayah apain ibu? Kok ibu nangis? Ayah pukulin ibu ya?”
“Nggak sayang,oh iya Gladis mau ketemu nenek nggak? Besok kita ke Surabaya yuk”
“Tapi yah,ayah kenapa mau kerumah nenek? Kan Gladis sebentar lagi mau lomba puisi”
“Mas!!! Jangan seenaknya kamu mau bawa Gladis! Dia anakku bukan anakmu”ujar ibuku kasar.
“Diam kamu! Pergi saja dengan suami barumu itu! Biarkan aku berdua dengan Gladis saja!”
Aku hanya bisa terdiam sementara air mataku terus menetes,lalu aku dibawa pergi ibuku kekamar,ibuku menyuruh untuk berhenti menangis dan melanjutkan tidurku,kemudian dengan langkah cepat ia kembali keruang tamu dan melanjutkan pertengkaran itu.
“Padahal kan besok Gladis mau lomba puisi yang pertama kali,tapi kenapa ayah sama ibu malah berantem” batinku sedih.
Matahari sudah kembali menampakkan wujudnya dipagi itu. Ketika mataku mulai terbuka aku langsung disambut pemandangan yang asing bagiku,aku tengah berada didalam pesawat. Aku sempat menangis karena tidak melihat kehadiran ayahku,tapi setelah dibujuk berkali-kali oleh ibuku akhirnya aku bisa berhenti menangis,ibuku bilang ayahku sedang ada pekerjaan ditempat yang jauh,jadi aku dan ibuku pindah kerumah saudaraku di Semarang. Entah itu benar atau tidak.
Setelah cukup lama tinggal diSemarang aku melanjutkan sekolahku ketingkat dasar. Aku cukup bahagia tinggal disini,bersama teman-teman baru dan orang-orang yang menyayangiku. Walaupun tanpa kehadiran seorang ayah,hingga tiba waktu pembagian rapot pertamaku,aku meraih juara kedua,sesampainya dirumah aku menanyakan kabar ayahku pada ibu.
“Ibu … ayah mana? Kok belum pulang kesini sih?Gladis kan pengen liatin rapot Gladis bu …”
“Iya sayang,ayah masih kerja,Gladis sabar ya”
“Ih ibu nih!!! Gladis kangen tau sama ayah,kenapa sih ayah lama banget??!!”bentakku kasar.
Aku yang masih kecil tentu susah untuk bersabar,maka merajuklah aku saat itu. Aku pergi keluar rumah dengan menggenggam buku bersampul biru itu dan membawanya kepantai didekat rumahku.
Teriknya matahari siang itu tak aku perdulikan dan sepinya pantai itu tanpa ada seorang pun tak membuat aku takut bersendirian ditempat itu. Aku hempaskan tubuh mungilku diatas pasir,bukit-bukit yang melindungi garis cakrawala mengingatkan aku pada pemandangan yang aku lihat ketika bersama ayah dulu. Butiran air perlahan-lahan keluar dari sudut mataku.
“Ayah…ayah dimana? Gladis kangen sama ayah,Gladis udah dapat banyak piagam lomba puisi yah,itukan yang ayah mau,ayah kapan pulang?liat yah rapot Gladis nilainya bagus-bagus,ayah dimana yah? Ayaaaahh ..!”panggilku lirih. Tangisanku terus mengalir bersama ombak yang memecah pinggiran pantai itu. Aku sangat merindukan sosok seorang ayah,yang dulunya selalu mendukung pilihanku.
Kini aku sudah beranjak dewasa,diusiaku yang sudah dua puluh tahun,aku sudah mampu menjadi seorang guru sastra,cerpenis,sekaligus novelis yang cukup sukses. Dengan usaha kerasku akhirnya apa yang aku cita-citakan bersama ayahku dulu telah tercapai. Tapi,ayah tak pernah muncul dalam kehidupanku lagi,entah masih ada atau sudah kembali pada Tuhan pun aku sama sekali tidak tahu. Kenangan masa kecilku itu belum dapat aku lupakan. Kini bulan telah menampakkan kehadirannya,aku masih duduk dipantai ini,setelah mengingat masa laluku dulu. Disampingku sudah ada sebuah balon dan secarik kertas yang terikat ditali balon itu sebuah puisi indah untuk ayahku.

SENJA TAK KEMBALI


Rentah merentah cacian senja

Berdiri diawang kelabu
Mencari sesuap penghargaan
Dibutiran pasir
Kepingan cinta
Jatuh dipelupuk mata
Tapi kau telah berlayar
Menghapus cakrawala
Hitam dan nila beradu
Merebut atap pelindung insan
Serat mata tak henti
Menggores harap didepan sana
Bermimpi kau berwujud
Bercita kau kembali
Akal pun tak lagi bergerak…

Perlahan-lahan aku lepaskan balon itu dari genggamanku,terbang tinggi dan semakin tinggi. “Semoga balon itu dapat mengentarkan rasa rinduku untuk ayah”batinku. Bulan seakan tersenyum melihat apa yang aku lakukan,angin malam itu pergi membawa balonku semakin jauh. Aku hanya bisa berharap dapat mencium pipinya yang terakhir kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar